Minggu, 27 Mei 2012

Mengumbar Kemesraan di Facebook & Blog (Website)

facebook_icon

facebook_icon

Berikut adalah diskusi kami perihal “MENGUMBAR KEMESRAAN DI FACEBOOK…” Bukanlah yang kami bahas di sini kemesraan anak – anak muda yang berpacaran, karena tentu jelas bagi mereka keharamannya. Akan tetapi yang di sini sedang kami bahas adalah kemesraan suami – istri yang sengaja mereka ekspos di Facebook.

……….

Akhi Teguh Prihattanto memberikan statement-nya setelah ditanyakan kepada al ustadz Fuad Hamzah Baraba’, dosen STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya.

Bismillah … Afwan agak mengungkit lagi …
Walhamdulillah tadi subuh sudah ana tanyakan kepada salah ustadz pengajar STAI ALi bin Abu THalib Surabaya, dengan Ustadz Fu’ad Hamzah Baraba’

Penjelasan beliau ana rangkum dan ana sampaikan dengan bahasa ana, dan sedikit tambahan untuk penjelasan dari ana pribadi …

Ana tanyakan kepada beliau masalah suami istri yang sama² punya akun fb dan saling menulis sesuatu sepertii “Sayang sudah makan ..?? “Sayang anak² sudah bangun …??” .. atau “Sayang aku merindukanmu” (bagi yang terpisah jarak yang agak jauh dan ini tambahan dari ana)

Beliau menyampaikan, pada dasarnya apa yang dimaksud bermesraan disini ..?? Harus diberikan batasannya, apakah sampai dengan batas yang dilarang hingga seperti menceritakan hubungan suami istri atau menceritakan ciuman dll ..?? atau sekedar sewajarnya seperti saling menyapa dll …?? Bisa jadi orang lain menganggap biasa bisa jadi menganggap mesra … maka perlu diperinci perbuatan yang dimaksud bermesraan disini, bagi orang fasiq berciuman di tempat umum bagi mereka biasa dan mungkin kemesraan bagi yang biasa melakukannya, bagi kita mungkin sesuatu hal yang tidak etis dan menganggap tidak punya rasa malu.

Kemudian beliau juga menganjurkan jika suami istri sebaiknya tidak menulis hal² yang dirasa pribadi yang bisa dibaca oleh semua orang atau kalangan, skrg kan sudah ada sms … atau inbox … dan hendaknya lebih baik seperti itu . (untuk poin ini pendapat dek didit memang benar)

Apakah hal tersebut diatas termasuk dalam bermesraan di tempat umum ? beliau kembali kepada bermesraan yang bagaimana yang dimaksud ..?? jika hanya berpegangan tangan , atau canda suami istri yang wajar maka Insya ALLOH tidak mengapa. Selama tidak berlebihan seperti Suami istri berciuman di tempat umum, atau jika kasus di FB mungkin seperti chatting yang berbau mengarah kepada porno atau sejenisnya, atau saling menyapa dengan menceritakan aurat istri atau suaminya seperti “Sayang baumu tadi pagi harum sekali … jadi pengen cepat pulang … ” :D dan sejenisnya … adapun seperti hal ini beliau menganjurkan seperti poin diatas tadi .. lebih baik diketahui suami istri.

Kemudian, jika ada yang melihat kata² mesra antar suami istri di FB kemudian membuat iri bagi yang belum menikah apakah termasuk dzhalim ? Belia menyampaikan sesungguhnya kemungkinan yang iri adalah orang yang belum mampu menikah atau belum bisa menikah, tetapi mungkin hal tersebut bisa juga menjadikan orang lain untuk segera menikah demi menjaga diri dan kemaluannya.

Apakah orang yang menulis di FB yang dimaksud tadi ( dianggap bermesraan antar wall suami istri) dianggap seperti syaitahn laki² dan perempuan yang berhubungan di jalan dan dilihat orang lain seperti yang disabdakan Rasulullah ..?? Beliau menjelaskan, jika tidak sampai menceritakan hubungan suami istri yang detail seperti bagaimana mereka berciuman, jima’ dll Insya ALLOH tidak sampai dihukumi seperti itu, karena yang dimaksud dalam hadits itu adalah menceritakan hubungan jima’ suami atau istri setelah mereka berhubungan kepada orang lain, dan disisi lain Imam An Nawai dan Imam Asy Syaukani juga menjelaskan tentang hal itu … (lihat link yang ana berikan)

Kemudian apakah bermesraan yang dimaksud jika seperti Rasulullah memuliakan istri² beliau seperti hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik (amula beliau) tentang Rasulullah berjalan menuntun Shofiyyah dan memakaikan Mantel kulit serta menaikkan Shofiyyah ke unta dengan berdiri di paha Rasulullah .. maka hal ini adalah termasuk memuliakan istri … :) dan dianjurkan Insya ALLOH … (dan lihatlah hal ini dilakukan di tempat umum) … :)

Kesimpulannya :
1. Bagi suami istri hendaknya saling menjaga hubungan mereka dengan sewajarnya di tempat umum, dan jika ada keperluan yang bersifat pribadi hendaknya tidak terbuka dan dibaca oleh orang lain, bisa lewat sms atau inbox.
2. Adapun masalah jika ada yang iri melihat yang seperti itu, hendaknya beristighfar kepada ALLOH dan mohon diberikan jalan dan kemudahan untuk segera menikah bagi yang belum menikah, karena iri hanya diperkenankan berkisar pada 2 hal , pada orang yang berilmu yang digunakan ilmunya untuk diajarkan kepada orang lain di jalan ALLOH, serta pada orang yang mempunyai harta yang digunakan di jalan ALLOH. Dan hendaknya lebih bersemangat untuk menjaga diri dan ikhtiar untuk segera menikah dengan niat menjaga diri dan kemaluan karena ALLOH jika melihat hal seperti itu.
3. Bab bermesraan di tempat umum , dan termasuk menulis wall dengan kata² mesra antar suami istri, perlu ada perincian apakah termasuk seperti perbuatan syaithan² laki² dan perempuan yang disabdakan Rasulullah atau bukan. Tidak langsung menghukumi sama.
4. Hendaknya tidak bermudah²an berfatwa sesuatu hukum sebelum diperinci terlebih dahulu sehingga terjebak dalam menghukumi sesuatu yang sama yang pada hakekatnya belum tentu sama ..

Dan semoga tulisan ini bermanfa’at dan jika ada kata² ana yang salah ana mohon maaf jika merupakan kebenaran maka kebenaran itu datangnya dari ALLOH, jika ada kesalahan ana minta ma’af dan kesalahan itu datangnya dari ana dan syaithon …

Allohu’alam bi showab.

akan tetapi ada asatidz yang lain yang berbeda pendapat dengan al ustadz Fuad Baraba’.

Beliau adalah al ustadz M. Noor Yasin. Beliau menjelaskan bahwa bermesraan di depan umum bisa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sifat-i seperti syaithan wanita dan syaithan laki2 yang sdg berhubungan di pinggir jalan dan dilihat orang2. (HR. Ahmad, VI/456-457)

Berikut adalah arsip diskusi kami. Klik DI SINI.

Silahkan bagi antum yang memiliki ilmu terhadap masalah ini, bisa di sharing untuk berdiskusi di sini… Semoga bermanfaat.

Program Kerja SK Karang Taruna

program KT rimbas jaya
PROGRAM KERJA
KARANG TARUNA KELURAHAN RIMBA ASAM
MASA BAKTI 2010-2013



A. Pendahuluan
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sehingga samapi saat ini kita tetap berada dalam lingkungan Agama-Nya yang penuh dengan harapan dan keselamatan.
Pada dasarnya Program Kerja Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam, telah terbentuk agar dapat di implementasikan dan di aplikasiakan oleh pengurus Karang Taruna Kelurahan Masa Bakti 2010-2013 dalam rangka mencapai tujuan Karang Taruna Secara Umum dan Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam Khususnya .
Penyusunan Program kerja adalah penting bagi sebuah organisasi, hal ini setidaknya akan memberikan gambaran terhadap dinamika perjalanan organisasi, juga sebagai bahan acuan untuk melaksanakan dan menjalankan program kerja pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam.

B. Maksud dan Tujuan
Program kerja ini dimaksud untuk memberikan arahan atau acuan secara lebih terperinci mengenai apa yang harus dikerjakan oleh pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam. 2010-2013, yang sesuai dengan bidang -bidang dan sebagai rencana mencapai tujuan secara terpadu, terarah, sistematik dan berkesinambungan.

C. Fungsi Program Kerja
Program kerja pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam masa bakti 2010-2013 berfungsi dan berkedudukan sebagai berikut:
1. Pedoman penyelengaraan program kerja pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam masa bakti 2010-2013.
2. Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam berusaha untuk menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai, semagat kepemudaan yang harus dirangkul dalam suatu wadah Organisasi Karang Taruan.
3. Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam sebagai upaya partisifasi nyata dalam menopang pembangunan di kelurahan Rimba Asam.
4. Program Kerja Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam masa bakti 2010-2013 merupakan acuan, pedoman bagi seluruh pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam
5. Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam Sebagai Fungsi kontol terhadap Organisasi Pemuda dalam wilayah Kelurahan Rimba Asam.



D. Program Kerja Bidang-Bidang.

1. Bidang Organisasi, Administrasi dan Humas

a. Mengusahakan membuat ID Card/T. Pengenal/Kartu Tanda Anggota.
b. Mengusahakan Ketersedianan pedoman, Atribut Karang Taruan
c. Meningkatkan Pemehaman ber-organisasi bagi pengurus Karang Taruna
d. Melaksanakan rapat koordinasi pengurus per semester.
e. Meningkatkan dan menjalin kerja sama yang baik dengan pemerintahan
Banyuasin pada umumnya Kelurahan Rimba Asam pada Khususnya/
Parpol/ OKP/Ormas/LSM dan kalangan Pers.
f. merumuskan strategi promosi Karang Taruna dikalangan anggota Pasif.
g. Menegakan tertip organisasi melalui tertib administarsi/kesektariatan
h. Menusahakan ketersediaan perlengkapan kesektariatan sarana prasarana.

2. Bidang Usaha Ekonomi Produktif

a. Membuat sistem penrkoprasian anggota Karang Taruna
b. Mengupayakan Usaha pembibitan Ikan/ternak ikan
c. Mengupayakan usaha ternak kambing,itik dan pepmibitan ikan

3. Bidang Kerohanian dan Bimbingan Mental Remaja

a. Menyelengarakan kegiatan pada hari-hari besar Islam
b. Mengadakan Sefari Ramadhan
c. Menjaga kerjasama dengan Ormas dan lembaga agama.
d. Melakukan kajian agama terhadap perkembangan pemikiran Islam
e. Berperan aktif dalam meningkatkan aktualisasi nilai-nilai Agama
f. Mengupayakan adanya Forum Dialog yang membahas masalah keagamaan pada saat ini
g. Mengupayakan pemberantasan buta aksara, Al Quran dikalangan Pengurus dan anggota Karang Taruna.
h. Mengusahakan terciptanya kehidupan remaja dan pemuda yang dinamis dan Agamis di Kelurahan Rimba Asam Kecamatan Betung
4. Bidang Usaha Kesejahteraan Sosial dan pengabdian masyarakat

a.Pelayanan Kesejahteraan Sosial
b. Mengumpulkan ada sosial ( penyandang Masalah dan Potensi/PMKS,PSKS)
c. mengikuti Kegiatan Bidang Pemuda dan kesejahteraan Sosial
d. merintis dan mengadakan kerjasama dengan organisasi sosial Pemuda yang
ada di dalam kecamatan Khususnya Kelurahan Rimba Asam.
e. Mengadakan Aksi Sosial ( Penyantuanan, kerja bakti dan sebagainya.


5. Bidang Pemerdayaan Perempuan

a. mengadakan Kegiatan yang dapat menigkatkan kualitas Perempuan
b. mengadakan kerjasama denga organisasi kewanitaan
c. melaksanakan kegiatan kewanitaan secara rutin
d. menumbuh kembangkan indusri skela rumah tangga

6. Bidang Partisipasi Pembangunan Kelurahan

a. melakuakan kajian terhadap berbagai asfek pembangunan
b. melaksanakan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejateraan dan pemerdayaan masyarakat kelurahan Rimba Asam
c. Melakukan Pegawasan terhadap program/pembangunan dalam kelurahan Rimba Asam
d. berperan aktif pada aktifitas pemerintah dan Masyarakat.
e. Melakukan koreksi dan evaluasi erhadap Kebijakan Kelurahan
f. Membantu menjaga keindahan dan pemeriharaan Toga Kelurahan

7. Bidang Pemuda Dan Olah Raga

a. Berpartisifasi aktif dalam dalam kegiatan kepemudaan dan olah raga.
b. Mengusahakan terbentuknya Tim-Tim Olah raga Karang Taruna
c. Mengadakan perlombaan minimal tingkat kelurahan
d. Mengadakan Pelatihan/Pembinaan terhadap Pemain
e. Membuat Club untuk anak-anak.


Rimba Asam, 27 Juli 2010
PENGURUS KARANG TARUNA
KELURAHAN RIMBA ASAM



JONI KARBOT, S.Th.I


PEMERINTAH KABUPATEN BANYUASIN
KECAMATAN BETUNG
KELURAHAN RIMBA ASAM
Jalan Penghulu Ali Basir No. 001 Telepon (0711) 893 001
RIMBA ASAM
Kode Pos 30758

KEPUTUSAN LURAH RIMBA ASAM
NOMOR 07 TAHUN 2010

TENTANG
PENGESAHAN DAN PENGUKUHAN PENGURUS KARANG TARUNA
KELURAHAN RIMBA ASAM KECAMATAN BETUNG
MASA BAKTI 2010-2013
LURAH RIMBA ASAM

MEMPERHATIKAN : Hasil Keputusan Rapat Pembentukan Pengurus dan Pemilihan Pengurus Baru Karang Taruna Kecamatan Betung masa bhakti 2010-2013 tanggal 27 Juli 2010 di Kantor Lurah Rimba Asam yang dipimpin langsung oleh Lurah Rimba Asam.

MENIMBANG : a. bahwa kesadaran para remaja dan pemuda menjadi cermin optimisme tercapainya kesejahteraan masyarakat yang lebih memadai dan menjadi tanda kebangkitan kedua bangsa ini serta tanda pencerahan yang lebih dinamis ;
b. bahwa jiwa dan semangat perlu secara aklamatif dan mufakat merapatkan barisan dan memperteguh tekad dalam tujuan mulia bersama, maka dipandang perlu membentuk Pengurus dan Pemilihan Pengurus Baru Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam Masa Bakti 2010-2013;
c. bahwa untuk keperluan dimaksud dipandang perlu untuk dituangkan dalam Surat Keputusan Lurah Rimba Asam.

MENGINGAT : 1. Undang –Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial ;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Propinsi Sumatera Selatan ;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
5. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 83/HUK/2005 tanggal 27 Juli 2005 tentang Pedoman Dasar Karang taruna ;
6. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuasin Nomor 5 Tahun 2003 tantang Pembentukan Organisasi, Dinas Daerah Kabupaten Banyuasin ( Lembaran Daerah Kabupaten Banyuasin Tahun 2003 Nomor 24 Seri D ).







- 2 -

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
PERTAMA : Mengesahkan dan Mengukuhkan Saudara yang namanya tersebut dalam lampiran Surat Keputusan ini sebagai Pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam Masa Bakti 2010-2013;
KEDUA : Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam Kecamatan Betung Masa Bakti 2010 – 2013 dalam melaksanakan kegiatan dimaksud terdapat dalam Pedoman Dasar Karang Taruna dan Rencana Kerja Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam ;
KETIGA : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
KEEMPAT : Surat Keputusan ini disampaikan kepada yang bersangkutan untuk diketahui dan diindahkan.



DITETAPKAN DI : RIMBA ASAM
PADA TANGGAL : 27 JUNI 2010
LURAH RIMBA ASAM





HASBULLAH, S.Sos
Penata TK I
NIP. 196407041986031010


Tembusan : Disampaikan Kepada :
1. Yth. Bupati Banyuasin di Pangkalan Balai
2. Yth. Kepala Dinas Kesejahteraan Social Kab.Banyuasin di Pangkalan Balai
3. Yth. Camat Betung di Rimba Asam
4. Yth. Yang bersangkutan





LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN LURAH RIMBA ASAM TENTANG PENGESAHAN DAN PENGUKUHAN PENGURUS KARANG TARUNA KELURAHAN RIMBA ASAM KECAMATAN BETUNG MASA BAKTI 2010 - 20013
NOMOR : 07 TAHUN 2010
TANGGAL : 27 JULI 2010


Pembina :
- Lurah Rimba Asam



Ketua : Joni Karbot, S.Th.I
Wakil Ketua : Darmadi
Sekretaris : Vilkadi
Wakil Sekretaris : Jaka Panca Sona
Pembantu Umum : Abdullah Majid
: Alek Sarkati
: Iskandar Juarsa
Bendahara :
Wakil Bendahara : Ratna Dewi



Bidang- Bidang

1. Bidang Organisasi, Administrasi dan Humas
Koordinator : Yunan Haidir
Anggot 1. Hasbullah Mubari
2. Rendi M

2. Bidang Usaha Ekonomi Produktif
Koordinator : Hariyanto
Anggota 1. Yusef Saiful, Amd
2.


3. Bidang Kerohanian dan Bimbingan Mental Remaja
Koordinator : Darwin Basoni
Anggota 1. Lidon Firdaus
2. Ali Muksin


4. Bidang Usaha Kesejahteraan Sosial dan pengabdian masyarakat
Koordinator : Agus Santoso
Anggota 1. Heriyasyah
2. Arli Yudi











- 2 –




5. Bidang Pemerdayaan Perempuan
Koordinator : Riva Yanti, S.Si
Anggota 1. Tri Aida
2. Nur Cahaya dewi


6. Bidang Partisipasi Pembangunan Kelurahan
Koordinator : Basrul
Anggota 1. Hariyasyah
2. Agung Setia Budi



7. Bidang Pemuda dan olah raga
Koordinator : Masdriyanto
Anggota 1. Darmawan
2. Apandi, S.Pd




DITETAPKAN DI : RIMBA ASAM
PADA TANGGAL : 27 JULI 2010
LURAH RIMBA ASAM





HASBULLAH, S.Sos
Penata TK I
NIP. 196407041986031010




























PEMERINTAH KABUPATEN BANYUASIN
KECAMATAN BETUNG
KELURAHAN RIMBA ASAM
Jalan Penghulu Ali Basir No. 001 Telepon (0711) 893 001
RIMBA ASAM
Kode Pos 30758

Rimba Asam, 06 Agustus 2010


Nomor : 463/ 41/ 050120/ 2010
Lampiran : I ( Satu ) Set
Perihal : Pembentukan Pengurus Karang
Taruna Masa Bakti 2010-2013 Kepada
Yth. Bapak Bupati Banyuasin
Cq. Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial
Kabupaten Banyuasin
di
Pangkalan Balai



Salam Kesetiakawanan Sosial

Sebagai upaya pembinaan terhadap generasi muda dalam wilayah Kelurahan Rimba Asam Kecamatan Betung, maka dengan ini disampaikan bahwa sesuai dengan hasil rapat/pertemuan tanggal 27 Juli 2010, telah terbentuk susunan pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam masa bakti 2010-2013.
Selanjutnya kami mengharapkan Kepada Bapak kiranya dapat merealisasikan untuk menerbitkan Keputusan Pengukuhannya. Sebagai bahan pertimbangan Bapak. Bersama ini disampikan:
1. Notulen rapat/pertemuan
2. Daftar hadir peserta rapat/pertemuan
3. Program kerja Karang Taruna
4. Susunan Pengurus Karang Taruna ( SK Lurah )
5. Identitas Pengurus Inti Karang Taruna Rimba Asam
Demikianlah atas perhatian dan bantuan Bapak diucapkan terima kasih.

LURAH RIMBA ASAM





HASBULLAH, S.Sos
Penata TK I
NIP. 196407041986031010

Tembusan : Disampaikan Kepada :
5. Yth. Bupati Banyuasin di Pangkalan Balai
6. Yth. Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kab.Banyuasin di Pangkalan Balai
7. Yth. Camat Betung di Rimba Asam
8. Yth. Yang bersangkutan




Notulen Rapat: Pembentukan Pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam
Masa Bakti Tahun 2010-2013





Pada hari ini Selasa tanggal dua puluh tujuh bulan Juli tahun dua ribu sepuluh, jam 13.00 s/d 15.30 Wib. Bertempat di Kantor Lurah Rimba Asam kami telah melakukan rapat/ pertemuan pembentukan pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam yang dihadiri oleh Lurah Rimba Asam.
Selanjutnya yang bertindak selaku Pimpinan rapat pada musyawarah ini adalah Sapran, S.Sos sedangkan notulen adalah Joni Karbot, S.Th.I dengan susunan acara:

1. Pembukaan
2. Sambutan Lurah Rimba Asam
3. Pembentukan Pengurus Karang Taruna
4. Pembahasan Program kerja
5. Do’a

Kemudian dari itu Pertemuan ini menghasilkan sebagai berikut:
1. Terbentuknya Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam dan terpilihnya Pengurus Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam masa bakti 2010 s/d 2013 sebagaimana daftar terlampir.
2. Tersusunnya Draf Program Kerja Karang Taruna Kelurahan Rimba Asam.


Demikianlah notulen ini kami buat untuk dapat dipergunakan seperluhnya.

Pimpinan Rapat Notulen





SAPRAN, S.SOS JONI KARBOT, S.TH.I


Mengetahui
LURAH RIMBA ASAM





HASBULLAH, S.Sos
Penata TK I
NIP. 196407041986031010

WAHANA KESEJAHTERAAN SOSIAL BERBASIS MASYARAKAT (WKSBM) KELURAHAN RIMBA ASAM

WAHANA KESEJAHTERAAN SOSIAL BERBASIS MASYARAKAT
(WKSBM)
KELURAHAN RIMBA ASAM

1. PENDAHULUAN

WKSBM Sebagai salah satu pilar pembangunan sosial, mengingat banyaknya jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) diwilayah dimana kami tinggal dengan mencoba menjalin kerja sama dengan masyarakat guna meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), WKSBM merupakan bagian dari Masyarakat untuk menekan laju pertumbuhan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial)
Ini merupakan Masalah kita bersama. Keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menunjang Program Pemerintah dalam kegiatan wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dalam pengentasan PMKS dan meningkatkan pelayanan yang berketahanan sosial. kegiatan/kelompok berbasis masyarakat ini yang punya kepedulian, rasa kebersamaan/kekeluargaan, swadaya dan gotong royong, saat ini masih berjalan dengan dengan dasar sukarela yang mana diharapakan bantuan dari pihak manapun untuk membantu keberlangsungan WKSBM ini, yang diharapakan bisa menumbuhkan dan meningkatkan kualitas sekaligus meningkatkan peran serta masyarakat dan jangkauan pelayanan sosial diwilayah Kecamatan Betung Khususnya kelurahan Rimba Asam
Berbagai kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan secara berkelompok mulai dari kegiatan keagamaan samapi kegiatan sosial, masing-masing kelompok melakukan kegiatan sendiri-sendiri secara rutin dan berkelanjutan seperti kelompok pengajian ibu-ibu MTI, arisan keluarga,PKK,Karang Taruna, Posyandu, amal kematian dan lain-lain
Seiring dengan perjalanan kegiatan sampai pada akhirnya untuk menyatukan kegiatan dan berkerja sama maka terbentuknya wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat (WKSBM) Kelurahan Rimba Asam, dengan jenis kegiatan yang lebih bervariasi yaitu dari kegiatan keagamaan, Sosial hingga keterampilan dan melibatkan lebih banyak lagi warga masyarakat diantaranya : Pengajian, Ceramah agama, takziah, arisan dan rebana dan kegiatan lainnya.

2. MAKSUD DAN TUJUAN

Kelompok ini dibentuk dengan maksud agar dapat mengoptimalkan kegiatan-kegiatan yang ada dan lebih bervariasi dengan lebih banyak melibatkan warga masyarakat, serta dapat memberikan pelayanan dalam penaganan masalah sosial
Adapun Tujuan dibentuknya kelompok ini antara lain:
1. Meningkatkan Silahturahmi antara warga masyarakat
2. Meningkatkan dan menumbuh kembangkan sifat tolong menolong/ gotong royong
3. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah sosial



3. SUSUNAN KEPENGURUSAN

Pembina : Lurah Rimba Asam
Penasehat : 1. Ketua LPM-K Kelurahan Rimba Asam
2. P2N Kelurahan Rimba Asam
3. Ketua TP PKK Kelurahan Rimba Asam

Ketua : Joni Karbot, S.Th.I
Sekretaris : Vilkadi.SA
Wakil Sekretaris : Masdriyanto
Bendahara : Tri Aida

Seksi-seksi
1. UKS : - Agus Santoso
- KA Syarwani
- Fatmawati
- Misnawati
2. Keagamaan :- Darwin Basoni
- Tjik Matcik
- Holian
- Usmiati
- Cik Marwati
3. Pendidikan :- Tri A
- Riva yanti, S.Si
- Hardi Nasution
- Vita
4. Amal Kematian:- Basrul
- Sadarsyah
- Afandi, S.Pd
- Darmolo

4. KEANGGOTAAN

Untuk keanggotaan WKSBM ini merupakan gabungan dari kepengurusan / Keperangkatan Pelayanan Sosial (KPS) yang ada dikelurahan Rimba Asam dan Melaksanakan Kegiatan:

JENIS KPS DALAM WKSBM KELURAHAN RIMBA ASAM

No Jenis KPS Jumlah KPS
1 Pengajian remaja/ Ikatan Remaja Masjid 1
2 Majlis Taklim Ibu-ibu 4
3 Posyandu 5
4 Rabana/ Qasidah Ibu-Ibu 3
5 PKK 1
6 LPM-K 1
7 Karang Taruna 1
8 Pengajian dan Amal Kematian Bapak-bapak 5
Jumlah Seluruh Anggota: 941Orang/KK ( Data KPS Terlampir )

5. KEGIATAN YANG DILAKUKAN
1. Pengajian
Kegiatan ini dilaksanakan satu minggu sekali secara rutin dengan belajar mengaji dan keagamaan lainnya bagi Ibu-ibu dan remaja masjid bertempat di masjid yang ada disekitarnya segangkan Ibu-Ibu Khususnya MTI acaranya bias pindah-pindah sesui jadwal.




2. Ceramah Agama
Kegiatan Ceramah agama dilaksanakan dua minggu satu kali, dengan berbagai materi tentang kegamaan dilakukan secara terpisah.

3. Posyandu
Kegiatan yang dilakasanakan berupah pemberian tambahan gizi bagi anak –anak khususnya yang kurang gizi dan pemeriksaan kesehatan serta penimbangan bayi/ Belita yang dilaksanakan satu bulan sekali pada 5 Posyandu Se Kelurahan Rimba Asam

4. PKK
Pada KPS ini berbagai kegiatan dilaksanakan, antara lain arisan bulanan, penyuluhan dan kegitan keterampilan lainya

5. Karang Taruna
Kegiatan ini bersifat kepemudaan antara lain Oleh raga dan gotong royong yang dilaksanakan satu bulan sekali berkerja sama dengan masyarakat dan pemerintah.

6. Pengajian dan Amal Kematian Bapak-bapak
Kagiatan kelompok ini terkait dengan musibah kematian dimana mulai proses pemandian, mengafani sampai penguburan,sebagai rasa belasengkawa Setiap Anggota diaadakan iuran kematian antara Rp 5.000-Rp 10.000,-sedangkan pada malamnya diadakan tahlil bersama selama 3 hari berturut-turut dan selain itu ada iuran alat –alat kematian (Tenda dan Kursi)

6. AGENDA KEGIATAN WKSBM
1. Memperingati hari-hari besar keagamaan
2. Memberikan bantuan Lansia
3. Penyuluhan pemberdayaan dalam berketahanan Sosial
4. Penyuluhan tentang bahaya Narkoba dan lainya
5. Pelatihan bagi ibi-ibu dan anak putus sekolah
6. Membantu Bencana Alam (Kebakaran, Banjir dll)
7. Membangkitkan Minat baca dan penyediaan buku agama dan umum
8. Dan lain-lain


7. PENUTUP
WKSBM sangat diperlukan, karena merupakan salah satu upaya untuk memperkuat ketahanan sosial di masyarakat yang terarah dan teratur dalam sistem kerjasama antar keperangkatan pelayanan sosial di tingkat akar rumut yang terdiri atas usaha kelompok, lembaga ataupun jaringan pendukung.
WKSBM dibagun dalam upaya menggali, menghimpun, mengembangkan sumber daya yang ada, terutama tingkat local untuk mencapai tujuan bersama dalam perkembangan masyarakat yang ada di kelurahan Rimba Asam ini
Rimba Asam, Juli 2011 …..Mengetahui Ketua WKSBM An Lurah Rimba Asam Sekretaris
JONI KARBOT, S.Th.I
SAPRAN , S.Sos.,M.Si PENATA NIP. 196606131987031008

CSR CFCD persoalan hukum tanggung jawab lingkungan Persoalan Hukum Seputar Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan dalam Perundang-Undangan Ekonomi Indonesia

A. Pendahuluan
Artikel pendek ini berisi identifikasi beberapa persoalan krusial yang menurut penulis perlu dicermati dan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Persoalan krusial tersebut adalah (a) batasan atau luas lingkup perseroan yang wajib melaksanakan TJSL (b) sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi TJSL (c) sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak melaksanakan TJSL, dan (d) keterkaitan antara TJSL dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang khusus berlaku untuk perusahaan berupa BUMN. Identifikasi beberapa persoalan di atas disertai dengan analisis singkat dengan memerhatikan isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 tentang permohonan uji formil dan materiil Pasal 74 UU PT terhadap UUD 1945.

B. Definisi dan Luas Lingkup TJSL
Pasal 1 Nomor 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) tampaknya menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai terjemahan dari istilah Corporate Social Responsibility (CSR) untuk konteks perusahaan dalam masyarakat Indonesia, dan mengartikannya sebagai "komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya".
Dalam literatur manajemen perusahaan banyak sekali ditemukan tulisan tentang CSR atau TJSL baik untuk konteks masyarakat Indonesia maupun asing. Pada tingkat paling dasar namun sekaligus sangat luas, CSR dapat dipahami sebagai sebuah relasi atau interkoneksi antara perusahaan dengan para pemangku kepentingan perusahaan tersebut, termasuk misalnya dengan pelanggan, pemasok, kreditur, karyawan, hingga masyarakat khususnya mereka yang berdomisili di wilayah perusahaan tersebut menjalankan aktivitas operasionalnya. Perusahaan bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan operasionalnya mampu menghasilkan barang dan/atau jasa secara ekonomis, efisien, dan bermutu untuk kepuasan pelanggan disamping untuk memperoleh keuntungan. Perusahaan juga berkewajiban untuk mematuhi hukum dan seluruh peraturan perundang-undangan nasional dan daerah yang berlaku di dalam wilayah negara seperti misalnya mematuhi aturan hukum ketenagakerjaan, persaingan usaha yang sehat, perlindungan terhadap konsumen, perpajakan, pelaporan aktivitas perusahaan, dan seterusnya termasuk juga untuk mematuhi hak-hak asasi manusia dan asas pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan.
Konsep CSR atau TJSL memperluas kewajiban perusahaan tersebut dengan kewajiban untuk peduli terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal di mana perusahaan tersebut berdomisili dan/atau menjalankan aktivitas operasionalnya. Kewajiban terakhir ini dapat dilakukan perusahaan melalui berbagai bentuk kegiatan yang idealnya cocok dengan strategi dan business core dari perusahaan itu sendiri.[1] Misalnya, pemberdayaan ekonomi rakyat berupa membina usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah; penyediaan hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum, dan sebagainya. Bahkan, deretan kegiatan sebagai wujud dari CSR atau TJSL inipun masih dapat ditambah bila kita memasukkan aneka kegiatan yang bersifat karitatif di dalamnya, seperti menyantuni anak yatim piatu, menolong korban bencana alam, dan sebagainya.
Jadi, pada prinsipnya CSR bertujuan agar perusahaan dapat memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada poin inilah tampak nyata bahwa pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum ‘diminta’ untuk bersama-sama dengan Pemerintah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat sebab perusahaan juga secara etis moral dinilai memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dan masyarakat. Tugas nasional ini tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab negara semata-mata untuk melaksanakannya, walaupun memang masih dapat dikaji lebih mendalam menyangkut sampai seberapa jauh sebenarnya perusahaan dapat diminta untuk memikul tanggung jawab mulia itu bila dibandingkan dengan kewajiban negara. Di sisi lain, CSR atau TJSL juga sebenarnya memberi manfaat bagi perusahaan yang melaksanakan. Manfaat itu misalnya CSR mampu menciptakan brand image bagi perusahaan di tengah pasar yang kompetitif sehingga pada gilirannya nanti akan mampu menciptakan customer loyalty dan membangun atau mempertahankan reputasi bisnis.[2] Kemudian, CSR juga dapat membantu perusahaan untuk mendapatkan atau melanjutkan license to operate dari Pemerintah maupun dari publik sebab perusahaan akan dinilai telah memenuhi standar tertentu dan memiliki kepedulian sosial.[3] Singkat kata, CSR memang dapat menjadi semacam iklan bagi produk perusahaan yang bersangkutan.

C. TJSL Sebagai Kewajiban Hukum
Konsep CSR atau TJSL di berbagai negara asing, utamanya negara-negara industri maju, dianggap sebagai sebuah konsep yang berdimensi etis dan moral sehingga pelaksanaannya pun oleh perusahaan pada prinsipnya bersifat sukarela bukan sebagai suatu kewajiban hukum. Di Indonesia, konsep TJSL justru dijadikan sebagai sebuah kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh perusahaan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (1) UU PT. Pasal yang mewajibkan perseroan melaksanakan TJSL ini telah dimohonkan untuk diuji secara formil dan materiil terhadap UUD 1945 di depan Mahkamah Konstitusi, dengan dalil bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.[4]
Para pemohon uji materiil[5] berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (1) hingga (3) yang mewajibkan TJSL bagi perseroan telah (a) bertentangan dengan prinsip dasar TJSL atau CSR yaitu kesuka-relaan (b) membebani perseroan secara ganda yaitu kewajiban membayar pajak dan menanggung biaya TJSL atau CSR (c) meniadakan atau setidaknya menafikan konsep demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, sehingga pada akhirnya justru akan mengakibatkan program TJSL atau CSR menjadi hanya sebatas formalitas belaka yang pada akhirnya akan menimbulkan sifat ketergantungan.
Ternyata, terhadap dalil hukum di atas Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat berbeda sehingga MK menolak permohonan uji materiil tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 74 UU PT tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28I ayat (2) jo Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.[6] Dikatakan oleh para hakim MK bahwa, pertama, menjadikan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74 merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi, dan hal ini adalah benar, karena:
1. Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.[7]
2. Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain, utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya tetapi juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi perusahaan yang akan go public. Dengan kata lain, MK tampaknya berpendapat bahwa sesuai kultur hukum Indonesia, penormaan TJSL sebagai norma hukum yang diancam dengan sanksi hukum merupakan suatu keharusan demi tegaknya TJSL atau CSR.[8]
3. Menjadikan TJSL sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang TJSL oleh perseroan sebagaimana dapat terjadi bila TJSL dibiarkan bersifat sukarela. Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[9]
Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan untuk melaksanakan TJSL berbeda dengan pajak.[10] Lebih jauh, disebutkan oleh MK bahwa pelaksanaan TJSL didasari oleh kemampuan perusahaan, dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran, yang pada akhirnya akan diatur lebih lanjut oleh PP. Demikian pula tentang sanksi bagi perseroan yang tidak melaksanakan TJSL, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (3) yang merujuk pada sanksi hukum yang terdapat pada perundang-undangan sektoral merupakan rumusan yang tepat dan justru memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri.[11] Jadi, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan para pemohon yang mengatakan adanya berbagai pasal dalam perundang-undangan yang juga mengatur tentang TJSL mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan tumpang tindih sehingga tidak dapat mewujudkan TJSL yang efisien berkeadilan. Khusus tentang perundang-undangan yang tumpang tindih ini akan penulis bahas pada bagian 4 dari artikel ini.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang mewajibkan pelaksanaan TJSL oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL sekedar formalitas perusahaan saja, sebab:
1. prinsip demokrasi ekonomi memberi kewenangan kepada Negara untuk tidak hanya menguasai dan mengatur sepenuhnya kepemilikan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, serta untuk memungut pajak semata, melainkan juga kewenangan untuk mengatur pelaku usaha agar mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. [12]
2. pelaksanaan TJSL menurut Pasal 74 tetap akan dilakukan oleh perseroan sendiri sesuai prinsip kepatutan dan kewajaran, Pemerintah hanya berperan sebagai pemantau. Dengan demikian, tak perlu dikhawatirkan akan terjadi penyalah-gunaan dana TJSL ataupun membuat perseroan melaksanakan TJSL hanya sebagai formalitas belaka.
3. pengaturan TJSL dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi rakyat.[13]

D. Batasan Perseroan Yang Wajib Melaksanakan TJSL
Dari rumusan Pasal 74 ayat (1) UU PT tampaknya pembuat undang-undang seperti bermaksud untuk ‘membatasi’ perseroan yang diwajibkan melaksanakan TJSL, yaitu dengan menyebut ‘perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam’. Frasa ini kemudian, dalam bagian Penjelasan dari ayat yang bersangkutan, dijelaskan sebagai perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, dan/atau perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Apakah dengan demikian Pasal 74 Ayat (1) tersebut tidak bersifat diskriminatif sebab hanya mewajibkan TJSL kepada perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam saja. Artinya, perseroan yang kegiatan usahanya tidak berhubungan dengan sumber daya alam, termasuk badan usaha yang bukan berupa perseroan yaitu Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang, dibebaskan dari kewajiban melakukan TJSL? Hal inilah yang juga menjadi dalil dari para pemohon hak uji materiil Pasal 74 UU PT kepada Mahkamah Konstitusi seperti disebut di atas.
Tentang isu di atas, ternyata MK berpendapat bahwa (a) pengaturan secara khusus atau berbeda oleh Pemerintah, melalui Pasal 74 ayat (1) UU PT, bagi perusahaan yang berusaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam adalah sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sehingga dapat dibenarkan (b) sebenarnya terhadap badan usaha yang tidak berbentuk perseroan, misalnya Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang pun juga tetap terkena kewajiban untuk melaksanakan TJSL berdasarkan Pasal 15 dari Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.[14]
Pada poin ini penulis berpendapat bahwa baik Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT maupun rasionale Hakim Mahkamah Konstitusi di atas MK belum cukup memberikan batasan yang tegas tentang perseroan dengan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang bagaimana saja yang wajib melakukan TJSL. Hal ini disebabkan definisi dan luas lingkup dari kegiatan usaha yang mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam (SDA), dan/atau yang berdampak pada fungsi kemampuan SDA sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT dapat ditafsirkan secara luas tergantung pada klasifikasi dari SDA itu sendiri.
SDA dapat diklasifikasi berdasarkan jenisnya yaitu hayati seperti tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan non hayati dengan contoh bahan tambang, air, udara, bebatuan.[15] SDA juga dapat diklasifikasi berdasarkan sifatnya yaitu SDA yang dapat dibaharui, misalnya air, tumbuhan, hewan, hasil hutan; dan SDA yang tak dapat dibaharui seperti minyak bumi, batubara, timah, gas alam. Adapula SDA yang tak terbatas jumlahnya seperti sinar / tenaga surya, air laut, dan udara. Kemudian, SDA bila dilihat dari kegunaan dan penggunaan/pemanfaatannya ada yang disebut SDA penghasil bahan baku seperti hasil hutan, barang tambang, hasil pertanian; dan SDA penghasil energi semisal ombak, panas bumi, arus sungai, tenaga surya, minyak bumi, gas bumi, dsbnya. Persoalannya sekarang, SDA sesuai dengan klasifikasi apa yang dimaksud oleh pembuat UU melalui rumusan Pasal 74 ayat (1) dan Penjelasannya itu?
Apakah perseroan yang harus tunduk pada pasal tersebut hanyalah yang bergerak di bidang pertambangan saja, ataukah juga mereka yang bergerak di bidang hasil hutan, hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil perikanan dan seterusnya? Bagaimana dengan perseroan yang berusaha dibidang ketenaga-listrikan yang bersumber pada tenaga surya, apakah juga wajib melaksanakan TJSL? Apakah perseroan yang usahanya memanfaatkan SDA yang bersifat hayati seperti usaha pemanfaatan tumbuhan, hewan, mikro organisme juga harus tunduk pada Pasal 74 ayat (1)?
Pembatasan arti terhadap frasa “mengelola dan memanfaatkan SDA” dan/atau “berdampak pada fungsi kemampuan SDA” sebagaimana tercantum dalam Penjelasan dari Pasal 74 ayat (1) menjadi amat penting, karena penafsiran yang luas akan dapat menjaring sebagian besar perseroan, padahal mungkin saja bukan itu maksud semula dari pembuat UU. Secara sederhana, masyarakat awam ataupun kalangan pengusaha mengartikan bahwa perseroan yang dimaksud oleh pasal itu adalah yang bergerak di bidang pertambangan saja. Namun, apakah memang benar demikian maksudnya?
Oleh karena itu, tak berlebihan kiranya bila nanti Pemerintah hendak menerbitkan PP sebagai tindak lanjut dari perintah dalam Pasal 74 ayat (4), persoalan tentang cakupan dan batasan dari pengertian perseroan yang wajib melakukan TJSL menurut Pasal 74 ayat (1) menjadi amat penting. Jangan sampai isi PP itu justru menafsirkan secara ekstensif pasal tersebut sehingga sepertinya justru menambah atau melampaui maksud awal pembuat UU, tetapi jangan pula sebaliknya.

E. Penyebaran Pengaturan Tentang TJSL Perusahaan Dalam Perundang-undangan
Secara eksplisit TJSL perusahaan memang diatur dalam Pasal 74 UU PT dan juga disebut secara tegas dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.[16] Namun, bila konsep CSR atau TJSL diartikan pula sebagai kewajiban perusahaan untuk misalnya mematuhi berbagai kewajiban hukum atau larangan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (perundang-undangan) sektoral, maka ditemukan beberapa UU yang beberapa pasalnya juga mengatur tentang TJSL. Berikut ini contoh beberapa UU yang memiliki pasal-pasal yang mengatur soal kewajiban pelaku usaha (perorangan atau badan usaha) untuk melakukan tindakan tertentu atau untuk tidak melanggar larangan tertentu menurut masing-masing UU:[17]
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya Pasal 47 ayat (3), 52, dan 83.[18]
2. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 30, 32, 48 ayat (3), dan 50 ayat (2).[19]
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 40 ayat (2), (3), dan ayat (5).[20]
Tersebarnya penormaan TJSL dalam berbagai perundang-undangan tersebut secara tersirat juga diperkuat oleh rumusan Pasal 74 ayat (3) UU PT beserta Penjelasannya yang menyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Adanya anak kalimat terakhir inilah yang mempertegas bahwa soal TJSL memang sesungguhnya juga diatur dalam beberapa UU tersebut di atas.
Banyaknya perundang-undangan selain UU PT dan UU Penanaman Modal, yang juga mengatur tentang konsep yang kurang lebih identik dengan TJSL juga menjadi salah satu alasan bagi para pemohon hak uji materiil Pasal 74 khususnya ayat (3) UU PT kepada Mahkamah Konstitusi. Mereka menyebutkan bahwa fakta tersebut memperlihatkan tumpang tindih penormaan TJSL dalam perundang-undangan di Indonesia dengan beragam sanksi sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum.[21] Namun, dalil hukum inipun oleh MK ditolak dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan sektoral yang dirujuk oleh Pasal 74 ayat (3) UU PT dalam konteks penjatuhan sanksi bagi perseroan yang tidak menjalankan kewajiban TJSL, justru tepat dan lebih memberikan kepastian hukum, bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri.
Pada poin ini penulis berpendapat bahwa pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sepenuhnya tepat.[22] Fakta memperlihatkan bahwa walaupun beberapa UU sektoral di atas dalam beberapa pasalnya mengatur tentang kewajiban bagi perusahaan untuk misalnya: tidak merusak lingkungan hidup, tidak merusak sumber daya air, harus mengelola lingkungan hidup dengan baik dan berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat lokal, dan seterusnya yang oleh Pasal 74 ayat (3) UU PT diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang juga mewajibkan perseroan melaksanakan TJSL, tetapi hal tersebut sesungguhnya tidak disertai dengan pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi.[23] Artinya, UU di atas tidak seluruhnya mengatur soal sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban yang telah diamanatkan dalam pasal-pasal sebelumnya. Kekosongan soal ketentuan sanksi ini dapat menimbulkan persoalan yang cukup rumit mengingat bahwa Pasal 74 ayat (3) UU PT justru merujuk pada sanksi hukum dalam UU terkait bila sebuah perseroan tidak melaksanakan kewajiban TJSL. Bagaimana sanksi itu akan diterapkan bila dalam UU terkait itu sendiri tidak diatur soal sanksi.
Memang, selalu ditemukan adanya ketentuan pidana atau sanksi dalam seluruh UU di atas, namun harus diperhatikan bahwa pasal ketentuan pidana tersebut tidak selalu berkorelasi dengan pasal yang berisi kewajiban melakukan TJSL. Ketentuan pidana tersebut banyak yang berupa sanksi untuk pelanggaran dari kewajiban lain yang bukan tergolong sebagai TJSL. Berikut ini beberapa contoh:
1. Dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana atau sanksi, hanya ditujukan untuk pelanggaran terhadap pasal-pasal yang sebenarnya tidak berkait dengan TJSL perusahaan. Hanyalah Pasal 52 yang isinya berkait dengan TJSL yang kemudian disertai dengan Pasal 94 dan Pasal 95 yang berisi sanksi atau ketentuan pidana dengan ancaman pidana penjara dan denda bagi badan usaha yang terbukti tidak memenuhi kewajiban Pasal 52 tersebut. Sedangkan Pasal 47 ayat (3) dan Pasal 83 yang sesungguhnya juga berisi ketentuan berkaitan dengan TJSL perusahaan, justru tidak disertai dengan pasal tentang sanksi.
2. Dalam Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, pasal tentang sanksi atau ketentuan pidana malah sama sekali tidak berkorelasi dengan pasal-pasal yang berisi TJSL, melainkan sanksi tersebut ditujukan untuk pasal-pasal lain dalam UU tersebut. Misalnya, Pasal 40 ayat (2), ayat (3) dan (5) yang jelas-jelas identik dengan TJSL perusahaan justru tidak disertai dengan pasal sanksi bilamana terjadi pelanggaran terhadap Pasal 40 tersebut.
3. Dalam Undang-Undang tentang Kehutanan, juga ditemukan hal yang serupa seperti dalam UU tentang Minyak dan Gas Bumi. Artinya, pasal-pasal tentang TJSL perusahaan justru tidak dilengkapi dengan ketentuan perihal sanksi hukum, sebaliknya ketentuan tentang sanksi, khususnya pidana, judtru ditujukan untuk berbagai pelanggaran yang bukan tergolong sebagai bentuk dari TJSL perusahaan.
Jadi, bila Pasal 74 ayat (3) UU PT dipandang oleh Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai sudah tepat dan memberi kepastian hukum, penulis justru meragukan hal tersebut. Sanksi hukum yang oleh pasal itu dianggap pasti ada, faknya tidak selalu demikian. Akibatnya, tetap menimbulkan pertanyaan: bagaimana akan menegakkan aturan tentang kewajiban TJSL perusahaan berdasarkan UU sektoral bila di dalam UU itu tidak ditemukan aturan tentang sanksi hukumnya. Persoalan tentang tidak lengkapnya aturan mengenai sanksi hukum ini sebaiknya harus diantisipasi dalam PP khusus tentang pelaksanaan TJSL perusahaan.
Penting untuk dikaji secara mendalam apakah sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban hukum untuk melaksanakan TJSL harus berupa sanksi pidana ataukah justru sebaiknya berupa sanksi yang bukan sanksi pidana. Misalnya saja, sanksi tersebut dapat berupa penundaan, penghentian atau pencabutan insentif atau subsidi; sebaliknya bila perusahaan memenuhi kewajiban melakukan TJSL maka terhadapnya Pemerintah memberikan semacam rewards berupa insentif, subsidi, diskon atau pemotongan pajak, atau sejenisnya. Dengan kata lain, sudah saatnya Pemerintah memikirkan secara serius kemungkinan untuk menerapkan bentuk sanksi hukum yang lebih tepat bagi pelaku usaha, dan sebaliknya menjajaki kemungkinan untuk memberikan penghargaan bagi mereka yang mematuhi hukum. Hal ini diduga akan lebih efektif untuk mendorong perusahaan menjalankan kewajiban TJSL, dan berdampak positif bagi perkembangan dunia usaha serta perekonomian nasional secara keseluruhan. Untuk ini sudah saatnya para ahli hukum dan ekonomi bekerja bersama mengembangkan studi dan metode pendekatan economic analysis of law.

F. TJSL Perusahaan dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
Selain ketentuan tentang TJSL perusahaan (khususnya Perseroan) dalam UU PT, ada pula konsep yang kurang lebih sama dengan TJSL tetapi khusus hanya diwajibkan untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik berupa Persero, termasuk di dalamnya Persero Terbuka, maupun Perum, yaitu Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Sumber hukum dari PKBL ini adalah Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Peraturan menteri ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 88.
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jadi, bila di lihat dari dampak yang diharapkan timbul melalui Program Kemitraan maupun Bina Lingkungan, terlihat ada kesamaan dengan program CSR atau TJSL perusahaan. Dampak tersebut adalah adanya peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan komunitas setempat yakni di wilayah di mana perusahaan atau BUMN berdomisili atau menjalankan aktivitas operasionalnya.
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) Peraturan Menteri di atas mewajibkan BUMN untuk melaksanakan PKBL, dan keberhasilan pelaksanaan PKBL ini menjadi salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN yang bersangkutan. Melalui PKBL, Pemerintah menginginkan terjadi peningkatan partisipasi BUMN dalam upaya Pemerintah untuk memberdayakan dan memperkuat potensi perekonomian rakyat, khususnya unit-unit usaha mikro dan usaha kecil, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas dan menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Terdapat sedikit perbedaan antara PKBL dengan CSR atau TJSL perusahaan, yakni (a) biaya untuk TJSL diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran; sementara biaya untuk PKBL diambil dari laba bersih yang diperoleh BUMN, masing-masing maksimal sebesar 2% untuk Program Kemitraan dan untuk Program Bina Lingkungan (b) lokasi bagi perseroan yang melaksanakan TJSL adalah terbatas di lingkungan dan/atau komunitas masyarakat setempat di mana perseroan berdomisili atau menjalankan aktivitas operasionalnya; sedangkan lokasi PKBL bagi BUMN lebih luas, yaitu seluruh wilayah Indonesia, tidak terbatas hanya pada domisili BUMN.
Kini, perlu diperhatikan korelasi antara kewajiban TJSL perseroan yang bersumber pada UU PT dengan kewajiban PKBL bagi BUMN yang bersumber dari UU tentang BUMN dan Peraturan Menteri Negera BUMN tersebut di atas. Terlihat bahwa dengan berlakunya UU PT, maka Pasal 74 UU itu semakin memperkuat kewajiban melaksanakan PKBL oleh BUMN, khususnya yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Persoalannya sekarang adalah bila menurut UU PT, sebuah BUMN yang bergerak di bidang sumber daya alam dan berbentuk badan hukum perseroan harus melakukan TJSL; tetapi di sisi lain sebagai sebuah BUMN juga terikat kewajiban untuk melakukan PKBL. Bagaimana mengkoordinasi dan mengharmonisasi kedua hal ini? Apakah bagi BUMN tersebut cukup diberlakukan Peraturan Menteri Negara BUMN tentang PKBL saja, dengan alasan peraturan hukum ini bersifat khusus atau lex specialis katimbang UU PT? Ataukah BUMN tersebut tetap tunduk pada UU PT mengingat peraturan ini bentuk formalnya adalah sebuah UU, yang pasti secara hirarki lebih tinggi daripada Peraturan Menteri? Ketentuan hukum mana saja yang dianggap paling tepat untuk diberlakukan bagi BUMN, tetap saja belum memecahkan seluruh persoalan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tentang sumber dana untuk aktivitas TJSL perusahaan dan untuk PKBL. Biaya untuk TJSL harus bersumber dari anggaran perseroan, sementara dana untuk PKBL diambilkan dari laba bersih BUMN. Artinya, bila BUMN tidak berhasil memperoleh laba maka program PKBL nya tak berjalan, sebaliknya TJSL tetap harus berjalan karena telah dianggarkan sebelumnya. Pada akhirnya, terkesan bahwa BUMN seperti dikenai 2 (dua) kewajiban secara bersamaan yang substansi dan tujuannya kurang lebih sama yaitu menjalankan PKBL dan TJSL.
Persoalan lain yang layak dikaji lebih lanjut adalah soal sanksi hukum. Pada PKBL, peraturan menteri di atas tidak mengatur sama sekali perihal sanksi bagi BUMN yang tidak mematuhi kewajiban itu. Hanya disebutkan dalam Pasal 30 ayat (1) bahwa keberhasilan pelaksanaan PKBL menjadi indikator penilaian tingkat kesehatan BUMN yang bersangkutan. Jadi rumusan pasal ini bukan berisi tentang sanksi. Sementara Pasal 74 ayat (3) UU PT seperti telah dibahas di atas, merujuk pada UU terkait atau UU sektoral (dalam konteks ini tentunya adalah perundang-undangan tentang PKBL) ketika berbicara soal sanksi.
Simpulan sementara hingga poin ini adalah bahwa perlu penataan yang tepat antara kewajiban melakukan TJSL dan PKBL bagi perusahaan yang merupakan BUMN, agar tidak terjadi duplikasi yang dapat menimbulkan penafsiran berbeda-beda dan membebani BUMN. Kecuali itu, harmonisasi, koordinasi dan sinkronisasi peraturan hukum seputar TJSL dan PKBL juga diperlukan agar tujuan utama yaitu meminta pertanggung-jawaban sosial perusahaan untuk turut serta meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat luas dapat tercapai secara adil, efektif, dan efisien.

G. Kesimpulan
Apabila Pemerintah hendak menindak-lanjuti perintah Pasal 74 ayat (4) UU PT untuk membuat peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur tentang TJSL, maka setidaknya ada 4 (empat) persoalan krusial yang perlu dikaji lebih mendalam. Ketiga persoalan itu adalah: (a) batasan tentang perseroan yang terkena kewajiban melaksanakan TJSL, khususnya tentang frasa ‘perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, atau yang usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam’ (b) harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan perUUan yang juga mengatur substansi yang berkaitan dengan TJSL, khususnya menyangkut ketentuan tentang sanksi hukum (c) pertimbangan penerapan sistem punish and rewards terhadap perseroan yang melawan atau mematuhi kewajiban hukum melakukan TJSL, dengan sedapat mungkin tidak menjatuhkan sanksi berupa pidana melainkan penghapusan atau pengurangan insentif dan sebaliknya (d) harmonisasi dan sinkronisasi antara kewajiban TJSL perusahaan dengan PKBL bagi perusahaan yang berupa BUMN.
Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud oleh pasal 74 ayat (4) UU PT memang diperlukan untuk lebih memberi kepastian hukum bagi para pelaku usaha khususnya badan-badan usaha, baik yang berupa usaha kecil, menengah, besar, ataupun badan usaha yang modalnya berupa modal domestik maupun asing, dan juga bagi BUMN. Kecuali itu, peraturan pemerintah tersebut juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pengaturan tentang pelaksanaan TJSL perusahaan secara sepihak dan berbeda-beda pada aras daerah melalui peraturan daerah.[24] Apabila peraturan hukum tentang TJSL perusahaan ini dibiarkan tersebar di mana-mana dan pada aras yang berbeda-beda, dikhawatirkan justru akan mengakibatkan pelaksanaan TJSL perusahaan yang tidak efektif, tidak sesuai dengan strategi bisnis masing-masing perusahaan, yang pada akhirnya justru membebani pelaku usaha sendiri.
Tentunya selain mengatur keempat persoalan di atas, peraturan pemerintah tersebut juga seyogianya mengatur secara cukup rinci berbagai jenis atau bentuk program TJSL yang dapat dipilih oleh perusahaan, batasan lokasi wilayah di mana perusahaan boleh melakukan program TJSL, koordinasi di lapangan antara perusahaan dengan pemerintah daerah setempat, sistem pelaporan kegiatan TJSL, dan sebagainya.

Daftar Pustaka
Business for Social Responsibility, (2001). “BSR Issue Briefs: Ethics Codes/Values”. Diakses dari http://www.bsr.org
Council of the Bars and Law Societies of the European Union, “Corporate Social Responsibility and The Role of the Legal Profession: A Guide for European Lawyers Advising on Corporate Social Responsibility Issues”. September 2003.
Mahkamah Konstitusi, Putusan No 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.
Organisasi.Org Komunitas & Perpustakaan Online Indo, “Pengertian Sumber Daya Alam dan Pembagiannya”. Diakses dari http://www.organisasi.org., tanggal 17 Juni 2009.
Porter, Michel E., dan Kramer, Mark R., “Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility”. Harvard Business Review Collection, 2007.
Rosses, Andrew., Atje, Raymond., Edwin, Donni., “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”. Policy Brief 7 (2008), Australian Indonesia Governance Research, the Australian National University.
Suharto, Edi., “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Apa itu dan Apa Manfaatnya Bagi Perusahaan”, makalah pada seminar Corporate Social Responsibility: Strategy, Management and Leadership, di Hotel Aryaduta Jakarta, 13-14 Februari 2008.
United Natons, “The Global Compact: Advancing Corporate Citizenship in the World Economy” (2001).
World Business Council for Sustainable Development, 2002.

________________________________________

EndNote:
[1] Michel E. Porter dan Mark R. Kramer, “Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility”. Harvard Business Review Collection, 2007.
[2] Ibid; Edi Suharto, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Apa itu dan Apa Manfaatnya Bagi Perusahaan”, makalah pada seminar Corporate Social Responsibility: Strategy, Management and Leadership, di Hotel Aryaduta Jakarta, 13-14 Februari 2008.
[3] Ibid.
[4] Mahkamah Konstitusi, Putusan No 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.
[5] Para pemohon tersebut adalah Ketua Umum dari KADIN, HIPMI, dan IWAPI, serta 3 (tiga) Perseroan Terbatas yaitu PT. LILI PANMA, PT. APAC CENTRA CENTERTEX Tbk., PT. KREASI TIGA PILAR., yang masing-masing diwakili oleh Presiden Direkturnya.
[6] Mahkamah Konstitusi, above no.4, bagian Amar Putusan.
[7] Mahkamah Konstitusi, above no.4, Bagian 3. Pertimbangan Hukum, subbagian Pendapat Mahkamah, nomor 3.19, halaman 91.
[8] Ibid, halaman 92.
[9] Ibid, halaman 93.
[10] Ibid, halaman 92.
[11] Ibid, halaman 93.
[12] Ibid, halaman 98.
[13] Ibid.
[14] Ibid, halaman 93.
[15] Lihat, misalnya, Organisasi.Org Komunitas & Perpustakaan Online Indo, “Pengertian Sumber Daya Alam dan Pembagiannya”. Diakses dari http://www.organisasi.org., tanggal 17 Juni 2009.
[16] Pasal 15 huruf b UU tersebut berbunyi: Setiap penanam modal berkewajiban: (b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Penjelasannya berbunyi: Yang dimaksud dengan "tanggung jawab social perusahaan" adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
[17] Penulis tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ke dalam contoh di atas oleh karena isi UU ini sudah sangat jelas mengatur tentang hak dan kewajiban setiap orang, termasuk badan usaha, untuk merawat dan melindungi lingkungan hidup.
[18] Berikut ini kutipan ketiga pasal dari Undang-Undang tentang Sumber Daya Air. Pasal 47 ayat (3): Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ikut serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Pasal 52: Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air. Pasal 83: Dalam menggunakan hak guna air, masyarakat pemegang hak guna air berkewajiban memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan melalui perannya dalam konservasi sumber daya air serta perlindungan dan pengamanan prasarana sumber daya air.
[19] Pasal 30: Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. Pasal 32: Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Pasal 48 ayat (3): Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. Pasal 50 ayat (2): Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
[20] Berikut ini bunyi Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Minyak dan gas Bumi : Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Pasal 40 ayat (3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan. Pasal 40 ayat (5) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.
[21] Mahkamah Konstitusi, above no. 4.
[22] Lihat pula, Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M. Arsyad Sanusi, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, above no.4.
[23] Pengecualian terjadi untuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana dalam Pasal 34 diatur perihal sanksi bagi penanam modal (perorangan atau badan usaha) yang mengabaikan ketentuan Pasal 15 mengenai kewajiban melaksanakan TJSL. Pasal 34 berbunyi sbb:
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administrative berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitaspenanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[24] Tentang kekhawatiran pengusaha akan munculnya perda yang beraneka ragam mengatur tentang TJSL perusahaan juga dikemukakan oleh para pemohon uji materiil Pasal 74 UU PT kepada Mahkamah Konstitusi. Hakim MK menanggapinya dengan menyatakan bahwa dalam suasana otonomi daerah sekalipun, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa setiap pemerintah daerah akan membuat kebijakan dan perda yang berbeda-beda untuk mengatur pelaksanaan CSR, sebab Pasal 74 ayat (4) yang bersifat imperative telah tegas menetapkan bahwa pengaturan lebih lanjut soal CSR hanyalah dalam bentuk PP bukan Perda.

Ruqyah vs Gunna-Gunna, Sihirrr dan Santet

Menanggapi permintaan pengunjung pada artikel saya yang terdahulu-Sekian Lama Jin Menguasai Diri Mereka-, maka pada kesempatan ini perkenankanlah saya untuk sedikit membahas perihal Ruqyah dan hal-hal yang terkait dengannya.

Sebagian dari anda mungkin agak percaya tidak-percaya dengan fenomena sihir, kesurupan dan gangguan ghoib lainnya seperti yang akan kita bahas disini. Selama ini anda mungkin cenderung memiliki keyakinan materialis, sehingga hal-hal tak tampak mata tersebut kurang menjadi perhatian anda. Namun saya yakin sikap anda tersebut lambat laun akan berubah seiring fakta-fakta yang berbicara tentang eksistensi permasalahan yang akan kita bicarakan ini. Mari kita simak….

Seorang Ilmuwan asal Amerika dan anggota Lembaga Kajian Psikologi Amerika. Prof.Carrington dalam bukunya “Fenomena Spiritual Modern”, berkata tentang kesurupan: “Jelaslah bahwa kesurupan, minimal, merupakan sebuah realitas yang tidak dapat di abaikan oleh ilmu pengetahuan, selama ada sejumlah besar hakekat yang mencengangkan yang mendukungnya. Jika demikian halnya maka pengkajiannya merupakan hal hang harus di lakukan, bukan karena pertimbangan akademis semata tetapi karena hingga sekarang ratusan bahkan ribuan manusia masih sering mengalamai keadaan ini, juga karena penyembuhan mereka memerlukan diagnosis yang cepat dan pengobatan yang segera.

Dr. Ahmad Shabahi ‘Iwadhullah berkata: Kesurupan adalah perbuatan ruh-ruh jahat dan rendah. Penyembuhannya dengan perlawanan ruh-ruh mulia, baik dan tinggi, sehingga akan menolak pengaruh-pengaruhnya dan menentang perbuatan-perbuatannya. Hal ini dilakukan melalui orang-orang shalih, dengan wahyu Allah dan atas kekuasaan-Nya Yang Maha Pencipta.

Fenomena ke- Indonesia-an

Tak bisa kita pungkiri bahwa guna-guna, sihir, santet, teluh, dan semacamnya, kini menjadi komoditas harian mayoritas penduduk Indonesia. Meski memeluk agama Islam, yang notabene sangat menentang praktek-praktek syirik semacam itu, kondisi sosio-historis yang masih terinduksi pesona animisme mesa lampau, membuat mereka tetap mengakrabi hal-hal demikian.

Permasalah menjadi lebih sulit ketika sebagian kita yang di uji dengan penyakit yang aneh, tak kunjung sembuh dan luput dari diagnosa medis, malah justru menjadi korban praktek itu. Alih-alih menghindari syirik, kebanyakan malah terjerumus ke dalam perangkapnya, saat melakukan pengobatan dengan pergi ke dukun-dukun sihir.

Sebenarnya al-Qur’an telah menyediakan pengangkal yang manjur. Bukankah ia adalah petunjuk juga sebagai obat penawar serta rahmat bagi orang-orang yang beriman? Baca kembali Surat Al-Isra’ :82 dan Fushilat: 44. Bahkan Raslulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah mengajarkan kepada umatnya ini cara-car untuk membentengi dan mengobati diri dari hal-hal yang demikian itu, yaitu berupa do’a-doa dari al-Qur’an dan As-Sunnah yang di sebut “Ruqyah”.

Hakekat Sihirrrrrrr

Pada hekekatnya sihir, santet, guna-guna dan sebagainya itu merupakan praktek yang menggunakan bantuan jin. Ini terjadi jika seseorang mempunyai perjanjian dengan makhluk tersebut, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Jinn ayat 6, lalu meminta bantuan mereka untuk memberi manfaat atau mencelakai seseorang. Pada saat itulah, jin dapat meresuki tubuh dan memulai ‘operasi’nya.

Namun ada kalanya sang jin mengganggu atau masuk ke tubuh seseorang karena keinginannya sendiri, dengan berbagai macam alasan. Bisa jadi untuk balas dendam karena seorang telah menyiram tempat tinggalnya dengan air panas, mungkin juga ia jatuh cinta kepada manusia, atau memang karena iseng saja.

Akan tetapi jangan khawatir, karena sesungguhnya jin tidak memasuki tubuh seorang kecuali saat orang itu tidak melaksanakan syariat Allah serta enggan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Kondisi semacam ini membuat jiwa seorang itu labil, sehingga pertahanan spiritualnya longgar. Hal ini bukan berarti seorang yang sholeh sama sekali tak mungkin terasuki jin, sungguh Allah Maha berkehendakatas hambanya dan semua kehendakNya bijaksana lagi penuh hikmah. Namun secara umum ada beberapa kondisi dimana jin sangat mudah sekali masuk ke dalam tubuh seseorang, yaitu saat marah sekali, takut sekali, senantiasa menumbar syahwat, dan lalai atau stress yang berlebihan.

Ruqyah Ituh Boleh Tidak Ya?

Tidak syak lagi bahwa Ruqyah sangat di anjurkan dalam terapi penyembuhan berbagai macam penyakit terutama penyakit ghaib berdasarkan dalil-dalil yang banyak, di antaranya:

1. Firman Allah:

“Dan kami turunkan dari al-Qur’an itu sesuatu yang menjadi penawar (spiritual maupun fisik) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman..”(al-Isra: 82)

2. Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah masuh ke rumahnya ketika sedang mengobati dan menjampi seorang wanita, lalu Nabi bersabda “ Obatilah dengan kitab Allah”

3. Diriwayatkan oleh Bukhari , disebutkan bahwasanya Abu Sa’id al-Khudri pernah menjampi seseorang dengan surat al-Fatihah. Kemudian Rasulullah mengiyakannya dan bertanya kepadanya: “Bagaimana kau tahu bahwa surat al-Fatihah itu dapat di gunakan untuk meruqyah”

Namun adalah suatu yang amat menyeramkan ketika sebagian tukang sihir dan para dukun menggunakan terminologi Ruqyah dalam rangka melariskan praktek kesyirikan mereka. Sampulnya sih Ruqyah Syar’iyyah, namun isinya sangat jauh bertentangan dengan syariat Allah bahkan dapat menjerumuskan orang ke dalam kekufuran. Diantara tanda-tanda praktek kesyirikan yang berkedok Ruqyah antara lain:

1. Mengusir jin penggagu dengan mendatangkan jin lain yang lebih kuat kedalam tubuh penderita namun, jn yang lebih kuat tersebut telah tunduk kepada dukun tersebut untuk tidak mengganggu penderita karena terikat perjanjian dengan sang dukun. Sekilas penderita telah merasakan kesembuhan, namun ketika penderita memutuskan hubungan dengan dukun tersebut ia akan menghadapi masalah yang lebih besar dari sebelumnya.

2. Sang dukun mengaku dapat memindahkan penyakit yang diderita seseorang ke tubuh binatang atau sebutir telur. Jelas ini adalah suatu bentuk pembodohan secara kasar, hanya sebuah manipulasi kadaluwarsa dari banyak dukun zaman ini.

3. Memenuhi permintaan jin yang masuk mengganggu penderita . Kadang jin minta di sembelihkan binatang, kadang minta di sesajikan ayam dengan cirri-ciri tertentu, kadang juga meminta penderita untuk melakukan praktek serta ritual-ritual kesyirikan lainnya. Hal ini hanya akan menambah kekafiran dan pembangkangan jin sehingga ia bertambah kuat dan penderita akan semakin tersiksa dalam jangka waktu yang panjang, walau pada awalnya terlihat seakan sembuh tapi ingatlah bahwa tabiat jin penggagu adalah pendusta.

4. Si tukang sihir melakukan pendekatan kepada para pemimpin kabilah jin pengganggu tersebut dengan berbagai macam tata cara kemsyrikan, kemudian meminta mereka untuk memenjarakan jin pengganggu sehingga tidak lagi mengganggu penderita. Sedangkan dalam ruqyah jin pengganggu akan diperintahkan untuk keluar dari tubuh penderita menuju masjid dan masuk Islam, namun jika jin tersebut itu menolak maka lambat laun ia akan mati terbakar karena ayat-ayat ruqyah yang dibacakan kepadanya.

Sebenarnya masih banyak cara-cara lain yang biasa dilakukan para tukang sihir dan dukun dalam upaya mengelabui manusia. Maka bagi anda yang ingin membedakan mana Ruqyah yang Syar’i dan mana yang tidak, cukuplah anda melihat media yang di gunakan. Karena Ruqyah yang Syar’i (sesuai dengan syariat Islam) hanyalah menggunakan Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi serta obat-obatan alami seperti madu, habbatussauda’ dan bekam, yang dalam prosesinya tiada terdapat unsur-unsur yang berbau klenik sama sekali. Dan perhatikan pula ciri-ciri peruqyah anda, ia haruslah seorang yang taat, sholeh dan bertaqwa kepada Allah. Jika ada seorang penyembuh namun jauh dari ibadah dan ketakwaan maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang tukang sihir apa pun julukannya; entah itu orang pintar, para normal, habib, ki, gus, tuan guru atau Kiay sekalipun.

Bagaimana Mengobati Diri Sendiri dengan Ruqyah

Ruqyah, selain ampuh dalam mengatasi gangguan-gangguan ghaib, ia juga sangat bermanfaat dalam membantu proses penyembuhan penyakit-penyakit medis. Maka dari itu penting bagi kita sebagai seorang muslim untuk memahami dan mempelajarinya. Caranya adalah dengan merutinkan dzikir-dzikir sunnah sehari-hari, terutama bacaan :

لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير

“Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai in qodiir” –Tiada yang berhak untuk disembah melainkan Allah, milik-Nya lah segala kerajaan dan milik-Nya lah segala pujian. Dan Ia Maha berkuasa atas segala sesuatu- . (Dibaca 100x setiap hari-H.R.Bukhari dan muslim-) dengan penuh penghayatan, untuk perlindungan yang maksimal.

Semoga bermanfaat..

Saya sadari artikel ini jauh dari cukup untuk dapat memahami perihal ruqyah secara menyeluruh. Maka saya sarankan kepada Anda untuk membaca buku yang saya jadikan acuan dalam tulisan ini, yang berjudul “Kesurupan Jin dan Cara Pengobatannya Secara Islami” Karya Syaikh Wahid Abdussalam Bali” terbitan Robbani Press. Ada juga buku yang tak kalah pentingnya karya penulis yang sama yang membahas khusus perihal sihir dan guna-guna, yang berjudul “Sihir, Guna-guna” terbitan Pustaka Imam Syafi’i.


oleh ichsanmufti
*Gambar diambil dari Robbani Press dan Pernikmuslim.com atas bantuan paman google.

Memotivasi Diri Kita Sendiri

Tidak ada orang yang bisa memiliki motivasi lebih baik dari memotivasi dirinya sendiri. Motivasi diri sendiri seperti ini datang dari diri kita sendiri bukan dari orang lain.
Ada beberapa tips motivasi diri sendiri :

1. Melakukan refleksi terhadap apa yang akan kita capai lalu menuliskannya di selembar kertas.

Untuk bisa melakukan motivasi terhadap diri kita, kita harus tahu apa tujuan yang ingin kita capai. Lalu kita harus mengembangkan perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang. Jalan mana yang akan kita pilih, haruslah mendukung dan sesuai logika. Kita tidak bisa memilih jalan yang kita sendiri tahu bahwa kita tidak akan sanggup menjalaninya. Akhirnya yang akan kita temui adalah kegagalan dan keputusasaan sebelum kita mampu mencapai tujuan kita tersebut.
Setelah kita menuliskan tujuan kita bersama dengan rencana yang kita buat untuk mencapainya, tempelkan kertas tersebut di tempat yang akan sering kita lihat setiap saat. Bisa di cermin dalam kamar, di lemari, di dinding, atau dimanapun yang menurut kita akan membuat kita sering melihat dan membacanya. Setiap hari paling tidak kita harus melihat dan membacanya sekurangnya 5 kali. Hal ini kita lakukan agar kita selalu teringat dengan tujuan yang ingin kita capai.
Setiap hari kita juga harus mencatat apa saja hal yang telah kita lakukan untuk semakin mendekatkan kita dengan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan begitu kita bisa menyadari dan merasakan apakah tujuan itu masih jauh, semakin dekat atau hampir tercapai.

2. Berhentilah menunda

Menunda-nunda adalah hal yang bisa membunuh impian kita. Juga mampu membunuh motivasi dalam diri kita sendiri. Tetapkan batas waktu untuk mencapai satu tujuan, dan berpeganglah dengan batas waktu yang kita tentukan sendiri. Dengan memiliki perasaan dikejar batas waktu, kita juga akan lebih fokus dan berusaha untuk memenuhi tujuan tersebut. Namun berhati-hatilah dengan menentukan batas waktu, jangan sampai waktu yang kita tentukan sendiri membuat kita stres dan frustasi, sehingga malah merusak mental dan pikiran kita. Pikirkanlah batas waktu yang tepat dan tetap membuat anda nyaman dalam menjalaninya. Terburu-buru juga bukanlah hal yang baik.

3. Menghadiahi diri sendiri

Setiap orang merasa senang bila diberikan hadiah atau penghargaan ketika menyelesaikan sesuatu atau tujuan tertentu. Jadi cobalah untuk memberikan hadiah atau menghargai diri kita sendiri ketika kita menyelesaikan satu bagian dalam perencanaan kita untuk mencapai tujuan akhir kita. Hal ini membuat kita akan memiliki harapan untuk bisa menyelesaikan bagian-bagian berikutnya untuk memperoleh hadiah yang lebih baik. Kita bisa coba berjanji pada diri sendiri, misalnya ; kita tidak akan membeli baju baru sampai salah satu rencana kita selesai. Jadi ketika rencana tersebut selesai kita akan memiliki rasa bangga pada diri sendiri.
Ingat juga, setelah kita menyelesaikan satu rencana cobalah membuat rencana baru lagi dan pastikan batas waktunya. Orang yang sukses akan selalu mencari cara untuk mengembangkan diri mereka dan kehidupan mereka.

4. Bersenang-senanglah

Dalam melakukan pekerjaan kita sering dihadapkan dengan masalah ataupun beban pikiran yang berat, jadi rasa humor yang cukup bisa menjadi salah satu kunci untuk sukses. Cobalah untuk tidak terlalu berat memikirkan masalah dan pekerjaan. Belajarlah untuk menikmati apa yang kita lakukan setiap hari, sehingga kita bisa tetap termotivasi dan merasa antusias. Dan dengan tetap memiliki perasaan tersebut, kita bisa membantu diri sendiri mengontrol tingkat stres yang kita miliki.
Motivasi diri sendiri memiliki keuntungan tersendiri dan juga memacu diri kita untuk bisa lebih berkembang, lebih baik, dan mengarah pada kesuksesan.
Dengan memotivasi diri sendiri, berarti kita juga bisa menciptakan jalan-jalan baru untuk melangkah mencapai tujuan kita.